MANAJEMEN PEMASARAN LANJUT
“LINGKUNGAN SOSIAL, BUDAYA, POLITIK, HUKUM DAN KEUANGAN
PEMASARAN GLOBAL BATIK INDONESIA YANG SUDAH MENJADI KEBUDAYAAN DUNIA”
Nama Kelompok :
* DANISA PUJIATI S (11212700)
*JAKFAR SIDDIQ (13212893)
* LILA WATI (14212202)
* SAMUEL IAN H (16212803)
Kelas :
4EA13
UNIVERSITAS GUNADARMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sejarah perkembangan batik kita tidak lepas dari pengaruh
masyarakat dahulu, sebagaimana diteliti, batik Indonesia berhubungan erat
dengan kerajaan Majapahit. Batik Indonesia mulai berkembang pada abad ke-18 dan
19, yang mula-mulanya berkembang di pulau Jawa. Mulanya batik itu hanya berkembang di linkungan keraton saja, yang
dikerjakan dan digunakan oleh warga di lingkungan keraton saja. Lama-kelaman
batik meluas sampai keluar dari lingkungan keraton, yang menjadi pekerjaan
wanita rumah tangga untuk mengisi waktu senggang mereka.akhirnya batik yang
dulunya hanya digunakan oleh masyarakat keraton, setelah itu meluas dan
digunakan oleh seluruh masyarakat. Tahap perkembangan batik di indonesia
pun melalui beberapa tahap yaitu tahap pertama pada zaman majapahi, zaman
penyebaran islam, munculnya pembatikan di Indonesia, pembuatan batik diluar
jawa, dan sampai batik dikenal oleh dunia internasional.
Perwakilan RI di negara anggota Tim Juri (Subsidiary
Body), yaitu di Persatuan Emirat Arab, Turki, Estonia, Mexico, Kenya dan Korea
Selatan serta UNESCO-Paris, memegang peranan penting dalam memperkenalkan batik
secara lebih luas kepada para anggota Subsidiary Body, sehingga mereka lebih
seksama mempelajari dokumen nominasi Batik Indonesia.
UNESCO mencatat Batik Indonesia dan satu usulan lainnya dari
Spanyol merupakan dokumen nominasi terbaik dan dapat dijadikan contoh dalam
proses nominasi mata budaya tak-benda di masadatang. UNESCO mengakui bahwa
Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas
rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain
batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup
dengan kainbatik. UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam
Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan
simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
Untuk lebih memahami tentang pengaruh perubahan sosial
akibat budaya batik yang meluas , ada baiknya untuk kita mengkaji lebih dalam
lagi tentang asal usul batik itu sendiri.
1.
Apa itu yang disebut dengan budaya batik ?
2.
Bagaimana historis batik itu sendiri?
3.
Apa pengaruh perubahan social yang ditimbulkan dari budaya
batik itu sebelum budaya batik menjadi budaya Internasional ?
4.
Apa pengaruh perubahan social yang ditimbulkan dari budaya
batik itu setelah menjadi budaya yang bertaraf Internasional
?
5.
Bagaimana power atau nilai plus dari corak batik itu,
sehingga budaya batik menjadi budaya yang bertaraf Internasional ?
1.3 Tujuan
penulisan
Didalam pembuatan makalah ini, terdapat unsur-unsur tertemtu
yang dianggap sangat penting. Selain memberikan gambaran tentang nilai
batik, kita juga mengetahui konsep-konsep perubahan sosial masyarakat.
Ada pun tujuan penulisan meliputi:
1.
Makalah ini kami buat sebagai bahan referensi bagswai kami
selaku mahasiswa.
2.
Mengetahui sejauh manakah peran batik bagi kehidupan sosial
masyarakat, sebagai bahan pembelajaran. Serta mengetahui bagaimana batik itu
memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia.
3.
Melalui makalah ini diharapkan agar kita semua mengetahui
bahwa batik itu adalah budaya kita yang harus dijaga serta diaplikasikan
didalam kehidupan sehari-hari. Selain itu batik juga merupakan ciri khas negara
Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Menurut Para Ahli
Menurut Benedetto Croce (1951) sejarah merupakan rekaman
kreasi jiwa manusia di semua bidang baik teioritikal maupun pratikal. Kreasi
spiritual ini senantiasa lahir dalam hati dan pikiran manusia yang mengutamakan
tindakan dan pembaru agama. Kebudayaan bagi Edward B. Taylor yakni
keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercyaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan – kemampuan lain yang di
dapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Hirschman perubahan sosial budaya
adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu
masyarakat yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan
hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan serta
akibat beberapa factor diantaranya yaitu, komunikasi, cara dan pola pikir
masyarakat. Faktor internal seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru,
terjadinya konflik atau revolusi, dan faktor eksternal seperti bencana alam dan
perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Max Weber mengatakan akibat daripada sistem
gagasan, sistem pengetahuan, sistem kepercayaan yang justru terjadinya
perubahan. Dari perubahan tersebut akan timbulnya tatanan masyarakat dari yang
semula tradisional agraris menuju ke masyarakat yang lebih modern. Pengaruh
perubahan sosial terjadi adanya penerimaan masyarakat pada perubahan sikap
masyarakat yang bersangkutan.
2.2 ASPEK
DASAR DARI BUDAYA
Bagi ahli antropologi dan sosiologi,
budaya adalah “cara hidup” yang dibentuk oleh sekelompok manusia yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya termasuk kesadaran
dan ketidaksadaran akan nilai, ide, sikap, dan simbol yang membentuk perilaku
manusia dan diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Seperti
didefinisikan oleh seorang ahli antropologi organisasi Geert Hofstede, budaya
adalah “tatanan kolektif dari pikiran yang membedakan anggota tersebut dari
satu kategori orang dengan orang lainnya.”
2.3 Pandangan Ahli Antropologi
Seperti diutarakan oleh Ruth
Benedict dalam karya klasiknya berjudul The Chrysanthemum and the Sword, tidak
peduli betapa aneh tindakan atau pendapat seseorang , cara seseorang berpikir,
merasa, dan bertindak mempunyai hubungan dengan pengalamannnya di dunia ini.
Tidak masalah jika tindakan dan opini dirasakan sebagai gagasan yang aneh oleh
orang lain. Pemasar global yang berhasil harus memahami pengalaman manusia dari
sudut pandang lokal dan menjadi orang dalam melalui proses empati budaya.
2.4 Budaya Konteks Tinggi dan Rendah
Edward T. Hall menyarankan konsep
konteks tinggi dan rendah sebagai salah satu cara untuk memahami orientasi
budaya yang berbeda. Dalam budaya konteks rendah, pesan nyata; kata-kata membawa
sebagian besar informasi dalam komunikasi. Dalam budaya konteks tinggi, tidak
terlalu banyak informasi berada dalam pesan verbal. Jepang, Saudi Arabia, dan
budaya konteks tinggi lainnya sangat menekankan pada nilai dan posisi atau
kedudukan seseorang di masyarakat. Dalam budaya ini, pinjaman dari bank lebih
mungkin didasarkan pada siapa Anda daripada analisis formal laporan keuangan.
Dalam budaya konteks rendah seperti Amerika Serikat, Swis, atau Jerman,
persetujuan dibuat dengan informasi yang jauh lebih sedikit mengenai karakter,
latar belakang, dan nilai-nilai. Keputusan lebih didasarkan pada fakta dan
angka dalam permintaan pinjaman.
2.5 Komunikasi dan Negosiasi
Jika bahasa dan budaya berubah, ada
tantangan tambahan dalam komunikasi. Misalnya, “ya” dan “tidak” dipergunakan
dengan cara yang berbeda antara Negara Jepang dan Negara barat. Hal ini
menyebabkan kebingungan dan kesalahpahaman. Dalam bahasa inggris jawaban “ya”
atau “tidak” atas sebuah pertanyaan didasarkan pada apakah jawabannya
mengiyakan atau menolak. Dalam bahasa Jepang, tidak demikian. Jawaban “ya” atau
“tidak” dapat dipergunakan untuk jawaban yang membenarkan atau menolak
pertanyaan tadi.
2.6 Perilaku Sosial
Ada sejumlah perilaku sosial dan
sebutan yang mempunyai arti yang berbeda-beda di dalam budaya lain. Sebagai
contoh, orang Amerika umumnya menganggap tidak sopan jika makanan di atas
piring membubung, membuat keributan ketika sedang makan, dan bersendawa. Namun
sejumlah masyarakat Cina merasa bahwa merupakan hal yang sopan jika mengambil
setiap porsi makanan yang dihidangkan dan menunjukkan kepuasannya dengan
bersendawa. Perilaku
sosial lainnya, jika tidak diketahui, akan merugikan bagi pelancong
internasional. Sebagai contoh, di Arab Saudi, merupakan penghinaan jika
menanyakan kepada pemilik rumah tentang kesehatan suami/istri.
2.7 Sosialisasi Antar-Budaya
Memahami suatu budaya berarti
memahami kebiasaan, tindakan, dan alasan-alasan di balik perilaku-perilaku yang
ada. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, bak mandi dan toilet mungkin berada
dalam ruang yang sama. Orang Amerika mengasumsikan bahwa ini adalah norma yang
berlaku di dunia. Namun, dalam beberapa budaya seperti Jepang, menganggap itu
tidak higienis. Bahkan budaya lain menganggap duduk di atas toilet duduk itu
tidak higienis. Di banyak budaya, penggunaan tisu toilet bukanlah norma mereka.
2.8 Lingkungan Budaya
Tiap-tiap
bangsa mempunyai nilai, adat istiadat dan tabu sendiri-sendiri. Pengusaha
asing, jika ingin berhasil, harus menanggalkan enosentrisme mereka dan mencoba
memahami kultur dan kebiasaan bisnis di negara tuan rumah, yang seringkali
berbeda konsep waktu, ruang dan tata caranya. Bagaimana konsumen setempat
memikirkan dan menggunakan produk tertentu harus diperhatikan oleh penjual
sebelum merencanakan program pemasaran. Berikut ini adalah beberapa contoh yang
mengejutkan di pasar konsumen :
Kaum pria Prancis rata-rata menggunakan kosmetik dan alat
kecantikan hampir dua kali lebih banyak dari pada istri mereka. Orang Jerman
dan Prancis makan spageti bungkusan lebih banyak dari pada orang itali.
Anak-anak italia senag makan sepotong coklat yang disisipkan di antara dua
potong roti sebagai cemilan. Kaum wanita di Tanjania tidak mau memberi telur
kepada anak-anak mereka karena takut anak-anak itu menjadi botak dan impoten.
2.9 Lingkungan Bisnis
Norma dan
perilaku bisnis juga berlainan dari satu negara ke negara lain. Eksekutif
bisnis perlu mengetahui hal ini sebelum melakukan negosiasi di negara lain. Ada
beberapa contoh perilaku bisnis yang berbeda dengan bisnis di beberapa negara:
Pengusaha arab biasa melakukan pembicaraan bisnis dengan rekan usahanya
dalam jarak yang sangat rapat, hidung mereka hampir beradu. Kadang-kadang
mereka menggamit dan menggemgam tangan anda sebagai tanda persahabatan. Jika
rekan usahanya menolak genggaman ini, pengusaha arab akan merasa
tersinggung. Dalam komunikasi tatap muka, eksekutif bisnis Jepang jarang
sekali mengatakan tidak kepada rekan amerikanya. Pengusaha Amerika sering
bingung dan tidak mengetahui persis apa sebenarnya sikap sebenarnya sikap
pengusaha Jepang ini. Orang amerika sering langsung ke pokok pembicaraan,
eksekutif bisnis Jepang menganggap ini sebagai sikap memaksa.
Di
Prancis, pedagang besar tidak merasa perlu mempromosikan suatu produk. Mereka
menanyakan kepada para pengecer apa yang diinginkan dan menyediakannya. Jika
pengusaha amerika menyusun strateginya dengan anggapan bahwa pedagang besar
Prancis akan bekerjasama dalam promosi, mereka akan gagal. Tiap-tiap
negara bahkan suku-suku bangsa di suatu negara mempunyai tradisi, preferensi
dan tabu budaya dan bisnis sendiri-sendiri yang harus diketahui para pemasar.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Apa itu
yang disebut dengan budaya batik
Kata batik cukup populer dikalangan masyarakat
Indonesia khususnya Jawa. Ikhwal orang yang memperkenalkan kata batik
dalam dunia International tidak diketahui dengan jelas. Berdasarkan catatan
sejarah, pada tahun 1705 seorang Belanda bernama Chastelain telah menggunakan
istilah “batex” (batik) dalam laporannya kepada Gubernur Belanda Rijcklof Van
Goens (Veldhuisen, 1999: 22). Menurut Hamzuri dalam bukunya yang berjudul Batik
Klasik menyatakan bahwa : Batik adalah cara untuk memberi hiasan
pada kain dengan cara menutupi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan
perintang. Zat perintang yang sering digunakan ialah lilin atau malam.kain yang
sudah digambar dengan menggunakan malam kemudian diberi warna dengan cara
pencelupan.setelah itu malam dihilangkan dengan cara merebus kain. Akhirnya
dihasilkan sehelai kain yang disebut batik berupa beragam motif yang mempunyai
sifat-sifat khusus (1981: VI).
Berdasarkan pengertian batik diatas, dapat dikatakan jika
suatu kain mengunakan lilin dan malam dalam pengerjaannya walaupun tidak
mempunyai corak batik, sudah dapat dikatakan sebagai kain batik. Sebaliknya,
walaupun kain itu bermotif batik, tapi dalam pengerjaannya tidak menggunakan
lilin dan malam tidak disebut dengan batik. Mengenai penulisan kata “batik”
menurut Kalinggo Hanggopuro (2002, 1-2) di dalam buku Bathik merupakan Busana
Tatanan dan Tuntunan. Ia menuliskan bahwa, para penulis terdahulu
menggunakan istilah batik yang sebenarnya ditulis dengan kata “batik” akan
tetapi seharusnya “ bathik”. Hal ini mengacu pada huruf Jawa “tha” bukan “ta”
dan pemakaian bathik sebagai rangkaian dari titik adalah kurang tepat atau
dikatakan salah.
3.2 Sejarah
Batik
Sejarah perkembangan batik kita
tidak lepas dari pengaruh masyarakat dahulu, sebagaimana diteliti, batik
Indonesia berhubungan erat dengan kerajaan Majapahit. Batik Indonesia mulai berkembang
pada abad ke-18 dan 19, yang mula-mulanya berkembang di pulau Jawa.
Mulanya batik itu hanya berkembang di linkungan keraton
saja, yang dikerjakan dan digunakan oleh warga di lingkungan keraton saja.
Lama-kelaman batik meluas sampai keluar dari lingkungan keraton, yang menjadi
pekerjaan wanita rumah tangga untuk mengisi waktu senggang mereka.akhirnya
batik yang dulunya hanya digunakan oleh masyarakat keraton, setaelah itu meluas
dan digunakan oleh seluruh masyarakat.
Berikut
ini beberapa tahap perkembangan batik indonesia, yaitu:
1. Zaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit,
dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulunggung. Ciri khas batik ini hampir
sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna
coraknya coklat muda dan biru tua. Saat berkecamuknya clash antara
tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro, sebagian
dari pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur (sekarang bernama
Majan). Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan
berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai
yang statusnya tirun-temurun. Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri
(peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
2. Zaman Penyebaran Islam
Perkembangan batik Indonesia selanjutnya berkembang pada
masa perkembangan islam ayaitu di daerah Ponorogo. Yang membawa islam kedaerah
Ponorogo ini yaitu Raden Kotong (adik Raden Patah). Waktu itu seni batik baru
terbatas dalam lingkungan keraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri
Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh
pengiring-pengiringnya. Di samping itu banyak pula keluarga keraton Solo
belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari
keraton menuju ke Ponorogo. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal
setelah perang dunia I yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari
Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan
nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari
Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik
di Ponorogo
3. Pembatikan di Jakarta
Sejak zaman sebelum Perang Dunia I (PD I), Jakarta telah
menjadi pusat perdagangan antar daerah di Indonesia. Setelah PD I (saat proses
pembatikan cap mulai dikenal), produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang
batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pemasaran untuk tekstil dan batik
di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota.
Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung,
Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di
Pasar Tanah Abang. Dari sini baru dikirim ke daerah-daerah di luar Jawa. Oleh
karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta, khususnya Tanah Abang,
dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan di tempat yang sama, maka timbul
pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di
Jakarta. Tempat yang dipilih berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha
batik yang muncul sesudah PD I, terdiri dari bangsa Cina, dan buruh-buruh
batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, dan Solo.
4. Pembatikan di Luar Jawa
Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman
sebelum PD I, terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan Yogya.
Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan
yang terkenal tenun Silungkang dan tenun Plekat. Pembatikan mulai berkembang di
Padang setelah pendudukan Jepang. Sejak putusnya hubungan antara Sumatera
dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, persediaan batik yang ada pada pedagang
batik sudah habis. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, hubungan antara
kedua pulau bertambah sulit. Semua ini akibat blokade-blokade Belanda. Maka
pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan
untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari
batik-batik yang dibuat di Jawa, ditirulah pembuatan pola-polanya dan
diterapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil
buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir,
dammar, dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas
dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan
Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain; Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi
Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim
(asal Pekalongan) dan Sutan Razab.
5. Batik Indonesia dikenal oleh dunia internasional
Perwakilan RI di negara anggota Tim Juri (Subsidiary
Body), yaitu di Persatuan Emirat Arab, Turki, Estonia, Mexico, Kenya dan Korea
Selatan serta UNESCO-Paris, memegang peranan penting dalam memperkenalkan batik
secara lebih luas kepada para anggota Subsidiary Body, sehingga mereka lebih
seksama mempelajari dokumen nominasi Batik Indonesia.
UNESCO mencatat Batik Indonesia dan satu usulan lainnya dari
Spanyol merupakan dokumen nominasi terbaik dan dapat dijadikan contoh dalam
proses nominasi mata budaya tak-benda di masadatang. UNESCO mengakui bahwa
Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas
rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain
batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup
dengan kainbatik. UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative
List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan
filosofi kehidupan rakyat Indonesia.
Jenis-
jenis batik Indonesia meliputi :
1. Batik klasik
Batik klasik merupakan suatu karya seni yang bersifat kuno
atau tradisi yang memiliki kadar keindahan tinggi. Berkembang pesat dan
mencapai puncaknya serta tidak luntur sepanjang masa, karena bermakna
filosofis, yaitu mengandung unsur-unsur ajaran hidup yang banyak digunakan
khususnya
Keindahan
batik klasik terletak pada susunan motif, warna, pola dan teknik pembuatannya
yang sangat sempurna, motifnya banyak yang menerapkan motif gubahan (slitiran)
baik bentuk binatang, batu-batuan, awan, air, tumbuhan, gunung api dan
sebagainya (Hamzuri,1981:36). Batik di Indonesia telah mengalami perkembangan
desain sebagai akibat dari perpaduan dengan berbagai budaya yang pernah masuk
ke Nusantara.
Keindahan
batik klasik ada 2 macam, yaitu:
1.
Keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena
perpaduan yang harmoni dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan panca
indera.
2.
Keindahan jiwa atau filosofi, yaitu rasa indah yang
diperoleh karena susunan arti atau lambang yang membuat gambar sesuai dengan
paham yang dimengerti (Susanto, 1980: 179)
Batik klasik dibuat untuk mewujudkan nilai-nilai
budaya Jawa merupakan batik yang dipengaruhi oleh nilai tradisi Jawa dan
didukung oleh kalanga bangsawan karaton Yogyakarta dan Surakarta (Hasanudin,
2001: 21). Dalam budya Jawa, khususnya di lingkungan Karaton, terdapat
ketentuan yang menyangkut keluarga raja dan pejabat karaton dalam bertindak,
berbicara, dan berpakaian agar sesuai dengan aturan karaton. Karaton memandang
perlu untik membuat aturan supaya kedudukan raja tetap kuat dan mutlak.
Kehalusan bukan saja dalam bahasa tetapi juga diwujudkan dalambahasa rupa.
Memilih kain, menetapkan corak, menggambarkan ragam hias, dan memilih warna
terkait dengam tujuan pencapaian tingkatan yang lebih halus, khususnya bagi
lingkungan karaton. Ketetapan raja yang menyangkut busana karaton dapat
diartikan sebagai perintah untuk meningkatka ketrampilan, kerajinan, dan
kehalusandalam tata busana karaton, khususnya kain batik. Salah satu aturan
yang melarang pemakaian corak batik tertentu dikeluarkan pada tahun 1769 di
Surakarta oleh Paku Buwana III (1749-1788):
Menurut Pangageng Sasana Pustaka Karaton Kasunanan Surakarta
Gusti Pangeran Haryo Puger antara batik dan upacara adat keduanya
salingmelengkapi, karena masyarakat menganganggap batik sudah menjadi satu
kesatuan yang yang tidak dapat dipisahkan.turun-temurun dan sudah menjadi
kebiasaan yang dianut leh masyarakat, diadopsi dari adat karaton.
2. Batik modern
Pada zaman modern
ini, pakaian batik sudah banyak mengalami revolusi. Ada banyak sekali design
baju batik yang telah mengalami perubahan ke design model baju batik
modern untuk dapat mengimbangi fashion. Design lebih indah dan modis
mulai dibentuk. Perkembangan batik ini telah mendapat tempat yang baik di
masyarakat. Sekarang, orang-orang pergi ke pesta mewah sekalipun telah
menggunakan batik sebagai pakaian maupun gaunnya. Bahkan para pejabat Negara,
pegawai negeri, siswa sekolahpun di wajibkan untuk memakai seragam batik pada
hari-hari tertentu.
Supaya budaya batik ini dapat bertahan, maka banyak design
model baju batik modern dengan corak baru muncul untuk semakin memperkaya
pilihan kepada para konsumen. Dengan menggabungkan konsep tradisional dan
modern, batik mampu membuat gebrakan mode di tanah air Indonesia. Dan semoga hal ini terus berlanjut.
Bahkan sekarang batik dibuat juga dalam bentuk jaket, sandal, tas, dan masih
banyak lagi.
3.3 Pengaruh
masyarakat terhadap batik sebelum batik menjadi budaya Internasional
Batik adalah warisan budaya khas Indonesia. Sejarah
keberadaannya dan pertumbuhan tidak dapat dibantah. Batik telah ada sejak zaman
kerajaan Majapahit dan kemudian memperluas tepat di masa kerajaan Mataran,
Solo, dan Yogyakarta. Tidak hanya di Jawa, batik juga telah tumbuh dan
berkembang di Pulau Sumatera. Selain itu, pengakuan UNESCO pada 2 Oktober
2009, bahwa batik adalah asli dan tidak berwujud warisan budaya Indonesia telah
mencabut klaim Malaysia. Sebagai pewaris batik dan pemilik. Lebih dari sekedar warisan
budaya, batik juga telah menjelma menjadi industri dengan kontribusi tinggi
terhadap perekonomian nasional. Selain itu, jumlah tenaga kerja dalam kelompok
industri (TPT) adalah 1,62 juta orang memang. Nilai ekspor batik bahkan
mencapai US $ 32.280.000 pada tahun 2008, dan US $ 10.860.000 dalam tiga bulan
pertama tahun 2009.
Tidak ada salahnya jika kita mengucapkan terimakasih kepada
Malaysia yang telah mengklaim batik sebagai warisan budayanya. Faktanya klaim
itu sendiri berfungsi sebagai pelopor tumbuhnya kembali jiwa Nasionalisme
bangsa kita yang sempat tersurut. Harus diakui bahwa klaim Malaysia atas batik
sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Klaim tersebut secara tidak langsung
menjadi pemicu lahirnya Forum Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Forum ini
sadar bahwa generasi batik masa lampau hanya melihat kompetisi antarperajin di
dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi
bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia. Meskipun Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat (waktu itu, dalam Kabinet Indonesia Bersatu I) Aburizal Bakrie
menyatakan bahwa usulan nominasi batik ke Unesco bukan reaksi terhadap
Malaysia, melainkan untuk kepentingan pengembangan batik Indonesia di pasar
Internasional. Namun demikian, setidaknya klaim Malaysia tersebut menjadi salah
satu pemicunya.
Dahulu sebelum batik menjadi budaya internasional batik
hanyalah sebuah kesenian gambar diatas kain untuk pakaian yang menjadi salah
satu kebudayaaan raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya
terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta
para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar
keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan
di tempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat
terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah
tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya
pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik
wanita maupun pria.
Tidak hanya itu saja sebelum batik menjadi budaya
imternasional batik hanya berperan sebagai budaya nasional. Menilik dari
sejarahnya, batik telah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia. Batik tidak
hanya tumbuh dan berkembang di pulai Jawa, tetapi juga di luar pulai Jawa
seperti Padang di pulau Sumatera. Corak dan motif batik yang sangat beragam,
menunjukkan kekhasan masing-masing daerah. Motif-motif tersebut tidak hanya
menjadi ciri khas daerah, tetapi juga menjadi simbol budaya daerah tersebut. Di
Jawa Timur saja, misalnya, motif dan warna dasar batik Surabaya, berbeda dengan
batik Malang atau Mojokerto. Motif-motif batik Surabaya mewakili budaya
Surabaya sebagai daerah pesisir, sementara batik Malang tentu saja
menggambarkan budaya masyarakat Malang yang sejuk.
Batik telah mendarah daging dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Maka wajar jika kemudian kita marah, bahkan sangat geram, terhadap
klaim Malaysia atas batik kita (dan juga klaim Malaysia atas kebudayaan kita
yang lain, misalnya tari pendet, angklung, reog, lagu rasasayange, dan
sebagainya).
Kita
harus mengakui sebelum batik menjadi budaya internasional di negara kita
semangat untuk mempatenkan motif batik di daerah-daerah sangatlah minim. Jadi
tidak heran sangatlah muda bagi malaysia untuk mencuri kebudayaan itu. Demi
memiliki identitas, negara itu gencar mengklaim batik, reog, tari pendet,
beberapa judul lagu, dan angklung sebagai milik sendiri. Kita desak Malaysia
meminta maaf. Dengan bermacam dalih, mereka meminta maaf walaupun pada saat
bersamaan terus mencari celah kelalaian kita. Dalam iklan pariwisata malaysia,
mereka pernah menyebutkan bahwa kita bangsa indonesia bangga atas kekayaan
budaya kita, namun sebelumnya kita tidak mengenali dan memanfaatkannya.
Kata kuncinya kelalaian. Kita lalai tidak mengenal budaya
sendiri, alih-alih mengurus hak kekayaan intelektual dan hak cipta.
Sementara Malaysia, yang bangga atas kemajuan ekonomi, bermasalah ketika tidak
memiliki identitas budaya. Padahal sebuah bangsa menjadi besar jika memiliki
identitas yang kuat. Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk
budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional.
Kalau lalai, negara lain seperti Malaysia akan mengklaimnya sebagai produk
budaya mereka. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya urgensi dan proaktifnya
pendataan dan perlindungan hak cipta atas karya pribadi dan hak paten atas
karya manual. Kalau kita lalai tidak hanya budaya kekayaan budaya hilang,
bahkan berakibat buruk hilangnya identitas budaya kita.
Dari sisi teknologi sebelum batik menjadi budaya
internasional, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan perbaikan
sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutunya bisa sama untuk
setiap lembar kain batik. Itu belum termasuk pemakaian zat warna alam yang
masih belum mendapat hasil stabil satu sama lain. Dilihat dari sisi
ketersediaan bahan baku sutera, jumlahnya masih kurang dari permintaan
pasar. Selain itu, serat dan benang sutera umumnya masih impor. Dari sisi
pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas antara lain
dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan Polandia. Segi
pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik Indonesia
sebagai high fashion dunia. Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan batik
dilakukan sesuai Konvensi Unesco tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda.
Konvensi Unesco tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah melalui PP Nomor 78
Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari 2008, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak
Konvensi. Dengan demikian, Indonesia berhak menominasikan mata budayanya untuk
dicantumkan dalam daftar representatif Unesco.
UU.
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjamin perlindungan hak kekayaan
intelektual komunal ataupun personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar
mendapat perlindungan sebagai kekayaan budaya bangsa. Upaya itu sudah dilakukan
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemprov Bali. DIY
menyangkut batik gaya Yogyakarta, sedangkan Bali terkati dengan tarian dan
tetabuhan musik. Dalam UU ini, hak cipta didefinisikan sebagai, “Hak eksklusif
bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 ayat 1).
Seolah jendela dunia bisnis terbuka lebar ketika pada 2
Oktober 2009 lalu, UNESCO mendeklarasikan batik Indonesia sebagai warisan
budaya dunia. Sejatinya, inilah tantangan bagi kita untuk mengangkat batik
sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Deklarasi itu ternyata mampu
membangkitkan spirit “berbatik ria” di masyarakat Indonesia. Kabarnya,
penjualan batik di sejumlah gerai batik laku keras alias laris manis. Inilah
euforia batik. Dengan bahasa lebih bening, euforia batik bakal lebih
mendatangkan aura positif bagi pertumbuhan dan pengembangan perekonomian
nasional.
3.4 pengaruh
masyarakat terhadap batik sesudah batik menjadi budaya internasional
UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan
simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai
meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa
keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kainbatik. UNESCO memasukkan
Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria,
antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia,
memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya tak benda pada saat ini
dan di masa mendatang. Selanjutnya seluruh komponen masyarakat bersama
pemerintah melakukan langkah-langkah secara berkesinambungan untuk perlindungan
termasuk peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas termasuk aktivitas
pendidikan dan pelatihan
Dewasa ini penggunaan batik makin beragam. Pasar ekspor
batik mencapai 125 juta dollar AS per tahun. Sekitar dua juta orang bergantung
pada usaha batik, mulai pedagang kecil dan menengah serta pemasok kebutuhan
batik beserta keluarganya. Seluruh pihak yang terkait dengan batik telah
memahami dan sepakat untuk memperjuangkan agar batik Indonesia dapat diakui
oleh Unesco. Mereka berharap, dengan telah diakuinya batik oleh Unesco, pasar
(dan industri) batik akan menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam
konteks inilah – bahwa batik bukan sekedar budaya khas Indonesia, tetapi
kekayaan intelektual bangsa Indonesia dan nafas serta penggerak kehidupan
sebagian masyarakat Indonesia – artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran
tentang: (1) sejarah batik Indonesia, (2) batik sebagai budaya nasional, (3)
mempatenkan batik, dan (4) industri batik dan sumbangsihnya terhadap
perekonomian nasional.
Guna tetap menjaga dan mengembangkan batik sebagai warisan
budaya takbenda Indonesia, masyarakat yang mewakili enam unsur kepentingan
mendeklarasikan terbentuknya Masyarakat Batik Indonesia (MBI) yang sebelumnya
bernama Forum Masyarakat Batik Indonesia. Menurut Ketua Yayasan KADIN Indonesia
Iman Sutjipto Umar di Universitas Indonesia, Depok, hal tersebut menjadi
penting mengingat batik sebagai warisan budaya masyarakat Indonesia perlu tetap
dipelihara kelestariannya, terutama kepada generasi penerus berikutnya. Itulah
sebabnya, tutur Sutjipto, saat menjadi pemrakarsa Deklarasi pembentukan MBI di
sela-sela seminar Dinamika Pengembangan Batik Indonesia dan Pameran Batik Ikon
Budaya Bangsa, di Depok, Jabar, enam unsur kepentingan mulai dari lembaga
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan yayasan, KADIN dan dunia usahanya,
juga paguyuban, kelompok dan perseorangan yang terlibat dan komit dalam budaya
babk Indonesia, termasuk juga pemerhati, pengamat, dan juga media, diharapkan
turut bersama memajukan dan mengembangkan budaya batik warisan budaya takbenda
Indonesia.
Ditegaskannya, peranan lembaga ini tidak akan mengambil alih
peran pemerintah, masyarakat, dan juga paguyuban, tetapi justru diharapkan
mewakili keinginan memajukan dan mengembangkan budaya batik, termasuk wadah
untuk membicarakan dan merumuskan kebijakan pemeliharaan dan penjagaan budaya
batik, baik dalam skala nasional dan dalam rangka kerjasama internasional.
Selain itu, pengembangan batik Indonesia juga didorong, baik dalam rangka
pengembangan desain dan motif batik, termasuk dalam rangka kerjasama dengan
lembaga perguruan tinggi. Nantinya MBI akan dilengkapi dengan sekretariat dan
perangkat organisasi lainnya yang dibutuhkan dalam upaya pendanaan dari sumber
yang sah dan tidak mengikat.
Salah satu usulan atau rekomendasi yang diharapkan akan
dihasilkan dari seminar ini adalah, dibentuknya pusat pengkajian batik yang
dikaitkan dengan wilayah Yogyakarta sebagai salah satu pusat kerajinan. Dengan
desain yang selalu berkembang secara dinamis, nantinya akan didirikan Pusat
Pengembangan Desain dan Motif di Yogyakarta. Seminar ini mengharapkan lahimya
pemikiran dari Fakultas Hmu Pengetahuan Budaya UI, untuk juga membangun pusat
kajian dan pengembangan batik Indonesia.
Perkembangan batik yang marak dalam beberapa tahun terakhir
ini juga telah ditunjukkan dengan akan dibangunnya Galeri Batik dalam kurun
waktu antara satu s/d dua tahun ke depan, yang akan diselaraskan dengan
perkembangan Museum Tekstil di Tanah Abang, Jakarta. Sementara untuk keberadaan
Museum Batik di Pekalongan saat ini, rencananya akan dipindah ke gedung eks
Resi den Pekalongan Pekalongan, guna memadukan secara sinegis seluruh daya dan
kemampuan bangsa memajukan batik Indonesia. Pakaian dengan corak sehari-hari
dipakai secara rutin dalam kegiatan bisnis dan akademis, sementara itu berbagai
corak lainnya dipakai dalam upacara pernikahan, kehamilan, juga dalam wayang,
kebutuhan nonsandang dan berbagai penampilan kesenian. Kain batik bahkan
memainkan peran utama dalam ritual tertentu. Berbagai corak Batik Indonesia
menandakan adanya berbagai pengaruh dari luar mulai dari kaligrafi Arab, burung
phoenix dari China, bunga cherry dari Jepang sampai burung merak dari India
atau Persia. Tradisi membatik diturunkan dari generasi ke generasi, batik
terkait dengan identitas budaya rakyat indonesia dan melalui berbagai arti
simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreatifitas dan spiritual rakyat
Indonesia.
UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative
List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan
filosofi kehidupan rakyat Indonesia; memberi kontribusi bagi terpeliharanya
warisan budaya takbenda pada saat ini dan di masa mendatang.
Selanjutnya seluruh komponen masyarakat bersama pemerintah
melakukan langkah-langkah secara berkesinambungan untuk perlindungan termasuk
peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas termasuk aktivitas pendidikan
dan pelatihan. Dalam menyiapkan nominasi, para pihak terkait telah melakukan
berbagai aktivitas, termasuk melakukan penelitian di lapangan, pengkajian,
seminar, dan sebagainya untuk mendiskusikan isi dokumen dan memperkaya
informasi secara bebas dan terbuka. Pemerintah telah memasukkan Batik Indonesia
ke dalam Daftar Inventaris Mata Budaya Indonesia.
3.5 Pembatikan
di Luar Jawa
Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar
Jawa, batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia
yang ada di luar Jawa. Sumatera Barat (khususnya daerah Padang) adalah daerah
yang jauh dari pusat pembatikan di kota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa
berkembang di daerah ini. Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak
zaman sebelum PD I, terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan
Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun
tangan yang terkenal tenun Silungkang dan tenun Plekat. Pembatikan mulai berkembang
di Padang setelah pendudukan Jepang. Sejak putusnya hubungan antara Sumatera
dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, persediaan batik yang ada pada pedagang
batik sudah habis. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, hubungan antara
kedua pulau bertambah sulit. Semua ini akibat blokade-blokade Belanda. Maka
pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan
untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari
batik-batik yang dibuat di Jawa, ditirulah pembuatan pola-polanya dan
diterapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil
buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir,
dammar, dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas
dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan
Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain; Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi
Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim
(asal Pekalongan) dan Sutan Razab.
Setelah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah
pendudukan tahun 1949, banyak pedagang batik membuka perusahaan/bengkel batik
dengan bahannya diperoleh dari Singapura melalui pelabuhan Padang dan
Pakanbaru. Tetapi, setelahpulau Jawa mulai terbuka kembali, mereka kembali
berdagang dan perusahaannya kemudian mati.
3.6 Batik
Sebagai Budaya Nasional
Menilik dari sejarahnya, batik telah mengakar dalam sejarah
bangsa Indonesia. Batik tidak hanya tumbuh dan berkembang di pulai Jawa, tetapi
juga di luar pulai Jawa seperti Padang di pulau Sumatera.
Corak dan motif batik yang sangat beragam, menunjukkan
kekhasan masing-masing daerah. Motif-motif tersebut tidak hanya menjadi ciri
khas daerah, tetapi juga menjadi simbol budaya daerah tersebut. Di Jawa Timur
saja, misalnya, motif dan warna dasar batik Surabaya, berbeda dengan batik
Malang atau Mojokerto. Motif-motif batik Surabaya mewakili budaya Surabaya
sebagai daerah pesisir, sementara batik Malang tentu saja menggambarkan budaya
masyarakat Malang yang sejuk.
3.7 Mempatenkan
Batik
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten,
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas
hasil penemuannya di bidang teknologi. Paten diberikan untuk selama waktu tertentu
karena melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya
kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Kita sambut gembira masuknya batik
Indonesia dalam 76 warisan budaya nonbenda dunia. Hal ini memiliki makna bahwa
kita telah mempatenkan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Meskipun dari 76
seni dan budaya warisan dunia yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Indonesia hanya menyumbangkan satu,
sementara China 21 dan Jepang 13 warisan. Jumlah ini jangan menyurutkan rasa
gembira dan rasa syukur kita.
Semangat untuk mempatenkan motif batik di daerah-daerah
harus terus didorong. Teringatlah kita kepada Malaysia. Demi memiliki
identitas, negara itu gencar mengklaim batik, reog, tari pendet, beberapa judul
lagu, dan angklung sebagai milik sendiri. Kita desak Malaysia meminta maaf.
Dengan bermacam dalih, mereka meminta maaf walaupun pada saat bersamaan terus
mencari celah kelalaian kita. Jajak pendapat Kompas (31/8/2009)
menunjukkan reaksi keras atas dipakainya simbol-simbol kebudayaan lokal
Indonesia dalam iklan pariwisata Malaysia. Kita bangga atas kekayaan budaya
kita, sebaliknya kita tidak mengenali dan memanfaatkannya.
Kata kuncinya kelalaian. Kita lalai tidak mengenal budaya
sendiri, alih-alih mengurus hak kekayaan intelektual dan hak cipta.
Sementara Malaysia, yang bangga atas kemajuan ekonomi, bermasalah ketika tidak
memiliki identitas budaya. Padahal sebuah bangsa menjadi besar jika memiliki
identitas yang kuat. Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk
budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional.
Kalau lalai, negara lain seperti Malaysia akan mengklaimnya sebagai produk
budaya mereka.
Contoh-contoh di atas menunjukkan urgensi dan perlu proaktifnya
pendataan dan perlindungan hak cipta atas karya pribadi dan hak paten atas
karya komunal. Kalau lalai, tidak saja kekayaan budaya hilang, bahkan berakibat
buruk hilangnya identitas budaya kita. Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan
itu dilakukan sesuai Konvensi Unesco tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak
Benda. Konvensi Unesco tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah melalui PP
Nomor 78 Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari 2008, Indonesia resmi menjadi
Negara Pihak Konvensi. Dengan demikian, Indonesia berhak menominasikan mata
budayanya untuk dicantumkan dalam daftar representatif Unesco. UU. Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual
komunal ataupun personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar mendapat
perlindungan sebagai kekayaan budaya bangsa. Upaya itu sudah dilakukan
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemprov Bali. DIY
menyangkut batik gaya Yogyakarta, sedangkan Bali terkati dengan tarian dan
tetabuhan musik. Dalam UU ini, hak cipta didefinisikan sebagai, “Hak eksklusif
bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 ayat 1).
3.8 Industri
Batik dan Sumbangsihnya terhadap Perekonomian Nasional
Seolah jendela dunia bisnis terbuka lebar ketika pada 2
Oktober 2009 lalu, UNESCO mendeklarasikan batik Indonesia sebagai warisan
budaya dunia. Sejatinya, inilah tantangan bagi kita untuk mengangkat batik
sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Deklarasi itu ternyata mampu
membangkitkan spirit “berbatik ria” di masyarakat Indonesia. Kabarnya,
penjualan batik di sejumlah gerai batik laku keras alias laris manis. Inilah euforia
batik. Dengan bahasa lebih bening, euforia batik bakal lebih mendatangkan aura
positif bagi pertumbuhan dan pengembangan perekonomian nasional.
Bagaimana
kinerja ekspor batik nasional? Mari kita lihat realisasi ekspor batik Indonesia
selama lima tahun terakhir.
Tabel 1: Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009
Tahun
|
Nilai
Ekspor Batik Nasional
|
2004
|
US$
34,41 juta
|
2005
|
US$
12,46 juta
|
2006
|
US$
14,27 juta
|
2007
|
US$
20,89 juta
|
2008
|
USS
32,28 juta
|
Triwulan
I 2009
|
US$
10,86 juta
|
Sumber:
Suara Pembaruan, 3 Oktober 2014.
Realisasi ekspor hingga semester 1 tahun 2009 baru mencapai
US$ 10,86 juta. Artinya, baru mencapai 33,64% dibandingkan dengan kinerja
ekspor pada 2008. Banyak yang berharap, euforia batik bakal mampu mengerek
kinerja ekspor batik nasional. Sehingga pada gilirannya akan mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah menargetkan ekspor
Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) – termasuk di dalamnya batik – mencapai
sekitar US$11,8 miliar pada 2009. Itu sedikit meningkat dibanding proyeksi
ekspor tahun 2008 sebesar US$11 miliar. Industri TPT masih menjadi salah satu
industri prioritas yang akan dikembangkan karena mampu memberi kontribusi yang
signifikan bagi perekonomian nasional.
Industri TPT 2006 lalu menyerap 1,2 juta tenaga kerja, tidak
termasuk industri kecil dan rumah tangga. Selain itu menyumbang devisa sebesar
US$9,45 miliar pada 2006 dan US$10,03 miliar pada 2007. Secara konsisten
industri TPT memberi surplus (net ekspor) di atas US$5 miliar dalam kurun waktu
10 tahun terakhir ini. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan 2009 ekspor TPT
mencapai US$11,8 miliar dengan penyerapan 1,62 juta tenaga kerja. Tantangan
yang dihadapi industri batik itu antara lain mengenai Sumber Daya Manusia
(SDM). Misalnya, generasi pembatik umumnya sudah berusia relatif lanjut,
sehingga perlu upaya khusus untuk menggugah minat kalangan muda untuk terjun ke
usaha batik. Masalah lain yang harus diatasi adalah masalah pendanaan,
ketenagakerjaan, dan penanganan penyelundupan. Saat ini industri TPT diakui
juga menghadapi masalah daya saing terkait usia mesin industri tersebut yang
sebagian besar (sekitar 75%) berusia sekitar 20 tahun sehingga membutuhkan
peremajaan mesin baru untuk bersaing di pasar internasional dan domestik yang
semakin ketat.
Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya
belum melakukan perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan
mutunya bisa sama untuk setiap lembar kain batik. Itu belum termasuk pemakaian
zat warna alam yang masih belum mendapat hasil stabil satu sama lain. Dilihat
dari sisi ketersediaan bahan baku sutera, jumlahnya masih kurang dari
permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera umumnya masih impor. Dari
sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas antara
lain dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan Polandia.
Segi pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik
Indonesia sebagai high fashion dunia.
Terkait masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI), ditengarai bahwa
motif-motif batik tradisional, belakangan ini banyak ditiru oleh para perajin
dari negara-negara lain. Kondisi tersebut terjadi karena usaha perlindungan HKI
di negara ini belum maksimal. Dalam kaitan tersebut, sesungguhnya kegiatan
dokumentasi motif batik sudah banyak dilakukan oleh masyarakat, bahkan
Departemen Perindustrian telah mendokumentasi sebanyak 2.788 motif batik dan
tenun tradisional dalam bentuk CD (Compact Disc).
3.9 Bagaimana
power atau nilai plus dari corak batik itu, sehingga budaya batik menjadi
budaya internasional.
Sebagai bentuk apresiasi dari diakuinya batik sebagai
warisan budaya dunia oleh UNESCO, kita berharap semoga dengan apa yang telah
dilakukan oleh segenap masyarakat Indonesia, walaupun baru satu hari kita semua
bersama-sama menggunakan batik, tetapi itu bisa menjadi inspirasi untuk hal-hal
yang lain selain batik. Selain batik juga banyak sekali kekayaan budaya
Indonesia yang memang juga harus dengan teliti dipelajari dengan seksama.
Apabila telah terindikasi secara faktual bahwa itu memang kepunyaan Indonesia,
maka tidak ada halangan buat kita untuk membuat literasi bahwa itu adalah hak
kekayaan budaya Indonesia.
Batik, selain tehnik pembuatannya, kita juga bisa membuat
hak ciptanya secara bagian-perbagian. Artinya ada juga karya-karya yang
merupakan bagian dari corak batik yang sudah dikenal sebagai budaya milik
Indonesia seperti misalnya batik Parang Nusa dan lain sebagainya. Sebab itu
akan menjadi kekuatan argument tersendiri apabila misalnya batik itu diklaim
oleh Negara lain. Sebab ada pengakuan dari negara tetangga yang mengatakan
sedang mempelajari dan akan menanyakan kepada UNESCO kenapa badan dunia
tersebut lebih mengakui proses pembuatan batik dengan menggunakan canting. Jadi
ini menunjukkan bahwa masih ada hal-hal lain yang dapat kita perkuat mulai dari
sekarang, apakah itu dari motifnya, jenis-jenis bahannya dan lain sebagainya,
itu harus kita buat lebih detil lagi. Dengan kecintaan anak muda Indonesia yang
luar biasa terhadap batik, saya rasa itu menjadi semacam inspirasi, bahwa
ternyata memang kalau kita beri spirit atau semangat, masyarakat kita bisa
sangat mencintai batik atau apapun, asalkan itu produk budaya asli Indonesia.
Untuk pembenahannya, pemerintah seharusnya sudah mulai
bergerak, baik itu ke industri batik yang bersifat perorangan (home industry)
ataupun industri kolektif, dan juga industri batik yang konvensional ataupun
inkonvensional. Ini sebenarnya bisa menjadi kekayaan tersendiri buat kita, oleh
sebab itu ketika industri yang bersifat perorangan itu mampu membuat
karya-karya yang subjektif, artinya sebuah karya yang khas dengan originalitas
yang luar biasa, maka memang sebaiknya didaftarkan hak ciptanya. Dan juga akan
menjadi sesuatu yang luar biasa kalau misalnya ada terobosan inovasi yang menarik.
Saya punya keyakinan kalau misalnya kita mengenakan jas, terkadang tidak semua
orang Indonesia kalau mengenakan jas itu kelihatan luwes, walaupun memang
terlihat berkelas, tetapi tidak luwes. Tetapi kalau mengenakan batik, orang
akan terlihat berkelas, ada membuminya disitu, kesederhanaan dan kepribadian
yang menonjol, jadi melengkapi semuanya, di satu sisi dia elegan dan di sisi
lainnya dia membumi dengan kesederhanaannya.
Itulah kelebihan batik dibandingkan dengan busana lainnya
dan jas sekalipun, dan itu harus kita pertahankan. Apalagi jika dibandingkan
dengan batik dari negara lain, ternyata batik Indonesia itu menang motif.
Memang ada orang yang mengatakan bahwa yang mendisain batik Indonesia yang
pertama itu adalah orang-orang China, tetapi kalau kita melihat sejarah budaya
dengan cerita dan tahun-tahun yang terjadi pada abad-abad sebelum ini,
awal-awalnya itu memang kelihatan sekali corak desain Chinanya, dan itu bisa
kita temui seperti di Semarang dan di daerah-daerah utara. Di daerah perkotaan
terkadang masih kita jumpai ada orang yang membuat batik, tetapi batiknya
berbeda dengan batik orang-orang yang ada di Yogya, Solo ataupun Pekalongan.
Jadi saya yakin bahwa motif-motif itu akan menjadi kekuatan kita dan dengan
begitu kita bisa katakan bahwa batik ini adalah yang teralkulturisasi dengan
China dan ini adalah batik kita yang original. Batik itu dicintai oleh segenap
lapisan masyarakat, dan saya yakin batik akan memiliki tempat tersendiri dihati
masyarakat Indonesia. Rasa kecintaan itu akan tumbuh dengan sendirinya, mungkin
awal-awalnya memang harus didorong, tetapi saya optimis bahwa batik akan
dicintai dengan sepenuh hati. Jadi tanpa kegiatan apapun, batik akan tetap
menjadi sesuatu yang dicintai oleh segenap bangsa Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Batik merupakan produk budaya Indonesia yang sangat unik dan
merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan dan dibudidayakan. Batik juga
merupakan salah satu solusi potensial untuk mendongkrak devisa negara melalui
revitalisasi industri kecil dan menengah. Hingga kini busana batik digunakan
sebagai pakaian yang sangat eksotisatik. Batik telah ada sejak zaman kerajaan
Majapahit dan kemudian memperluas tepat di masa kerajaan Mataran, Solo, dan
Yogyakarta. Kain batik merupakan kain universal yang terdapat di berbagai
negara, walaupun begitu, dunia mengakui bahwa batik berkembang pesat di
Indonesia.
Batik Indonesia diakui oleh dunia sebagai batik yang
betul-betul sempurna keindahannya, baik mengenai desain maupun proses
pembuatannya. Namun sepertinya baju Batik yang merupakan produk peradaban dan
kebudayaan Nusantara kita sedang hampir mengalami ‘kecolongan’. Seni Batik
kurang terperhatikan untuk diberdayakan sebagai sumber devisa yang sangat
potensial. Jika kondisi ini kita relakan berjalan dengan apa adanya, maka bisa
diprediksikan negara kita akan mengalami kerugian yang sangat memprihatinkan.
Kerugian tersebut tidak hanya dari segi materi yang mana bisa kita daya gunakan
untuk mendongkrak devisa negara melalui sektor pariwisata maupun ekspor-impor.
melainkan juga kerugian dari segi keotentikannya sebagai produk peradaban
bangsa Indonesia akan terancam semakin samar di mata dunia internasioanal dan
lama kelamaan akan luntur ditelan zaman.
4.2 Saran
Cinta dan penggunaan terhadap produk batik dalam negeri
memiliki banyak sisi positif sehingga patut dilakukan. Disarankan pula agar
tidak membeli dan menggunakan produk dalam negeri begitu saja, akan lebih baik
bila disertai pula dengan rasa cinta tanah air sehingga dapat menjadi sikap
nasionalisme yang baik. Dengan demikian semoga kedepannya kita lebih mengenal
dan mencintai budaya nasional warisan leluhur kita khususnya batik dalam semua
kekreatifan kita dalam semua aktifitas yang kita lakukan agar dapat menjaganya
dan berharap supaya masyarakat bisa memahaminya dan terus mempertahankan
kesenian ini. Agar kita selalu memilki kesenian yang telah dimilki Indonesia
sejak dulu.